Sejak jaman nenek moyang kita, masyarakat kita telah mengenal tradisi gotong royong. Gotong-royong ini merupakan kegiatan saling membantu yang dilakukan oleh masyarakat kita. Sebagai contoh adalah ketika salah seorang warga membangun rumah, maka tetangganya membantu tanpa mengharapkan upah.
Contoh riil dari pengalaman saya adalah ketika bapak saya memasang antena UHF jaman 90-an yang membutuhkan tiang setinggi gunung (lebay), saudara-saudara dan tetangga turut serta membantu. Dan tanpa bantuan mereka, kami tidak dapat melihat siaran tv lokal yang waktu itu lagi hot-hotnya nyiarin flm "Ksatria Baja Hitam" dan "Monkey King". Selepas mendirikan tiang antena kami duduk bersama sambil menikmati teh hangat dan sedikit cemilan. Seneng rasanya. Dan itu menguntungkan bersama.
Seiring zaman ada beberapa tradisi gotong royong yang mengalami pergeseran makna. Sebagai contoh adalah tradisi "Kondangan" di kampung halaman saya, Pemalang. Maksud dari Kondangan ini awalnya adalah turut berbahagia atas kebahagiaan tetangga antara lain hajatan nikah atau sunatan. Para tetangga datang dengan membawa uang atau beras untuk yang punya hajat sebagai rasa turut bahagia. Yang saya garis bawahi adalah datang dengan membawa uang dan beras untuk diberikan tanpa mengharap balesan apapun. Artinya ikhlas.
Nah yang terjadi sekarang justru pergesaran makna, atau tujuan dari kegiatan yang sudah mengakar di masyarakat kampung kami itu. Sekarang yang terjadi adalah "Pemberian Utang". Kenapa? Karena setiap memberi akan diberi nama atau harus diinget oleh yang punya hajat. Untuk apa? Untuk dibayarkan kembali ketika yang punya hajat adalah sebaliknya. Bahkan tidak segan-segan kadang ketika memberi undangan diberikan tulisan sesuai dengan yang pernah diberikan, misalnya Beras 1 Kwintal, gubrak!!! Sungguh tradisi yang membebani.
Sebaliknya di lingkungan kota-kota dimana yang punya hajat akan merasa senang dan bahagia ketika yang diundang datang tanpa mengharap apa yang telah diberikan kepada undangan itu dikembalikan lagi. Bukan begitu?
Oke teman-teman silahkan beri masukan atau cerita tentang pengalaman seperti ini.
Terima kasih
Contoh riil dari pengalaman saya adalah ketika bapak saya memasang antena UHF jaman 90-an yang membutuhkan tiang setinggi gunung (lebay), saudara-saudara dan tetangga turut serta membantu. Dan tanpa bantuan mereka, kami tidak dapat melihat siaran tv lokal yang waktu itu lagi hot-hotnya nyiarin flm "Ksatria Baja Hitam" dan "Monkey King". Selepas mendirikan tiang antena kami duduk bersama sambil menikmati teh hangat dan sedikit cemilan. Seneng rasanya. Dan itu menguntungkan bersama.
Seiring zaman ada beberapa tradisi gotong royong yang mengalami pergeseran makna. Sebagai contoh adalah tradisi "Kondangan" di kampung halaman saya, Pemalang. Maksud dari Kondangan ini awalnya adalah turut berbahagia atas kebahagiaan tetangga antara lain hajatan nikah atau sunatan. Para tetangga datang dengan membawa uang atau beras untuk yang punya hajat sebagai rasa turut bahagia. Yang saya garis bawahi adalah datang dengan membawa uang dan beras untuk diberikan tanpa mengharap balesan apapun. Artinya ikhlas.
Nah yang terjadi sekarang justru pergesaran makna, atau tujuan dari kegiatan yang sudah mengakar di masyarakat kampung kami itu. Sekarang yang terjadi adalah "Pemberian Utang". Kenapa? Karena setiap memberi akan diberi nama atau harus diinget oleh yang punya hajat. Untuk apa? Untuk dibayarkan kembali ketika yang punya hajat adalah sebaliknya. Bahkan tidak segan-segan kadang ketika memberi undangan diberikan tulisan sesuai dengan yang pernah diberikan, misalnya Beras 1 Kwintal, gubrak!!! Sungguh tradisi yang membebani.
Sebaliknya di lingkungan kota-kota dimana yang punya hajat akan merasa senang dan bahagia ketika yang diundang datang tanpa mengharap apa yang telah diberikan kepada undangan itu dikembalikan lagi. Bukan begitu?
Oke teman-teman silahkan beri masukan atau cerita tentang pengalaman seperti ini.
Terima kasih
0 komentar:
Posting Komentar